Minggu, 27 November 2011

Videografi

Buku “HOW TO BECOME A CAMERAMAN”
Oleh Diki Umbara
Berawal dari sebuah pemikiran pada ketersediaan buku-buku mengenai dunia broadcasting yang tidak sebanding dengan perkembangan dunia pendidikan, penulis tergugah untuk membagi pengetahuan dan pengalaman yang telah penulis peroleh selama menjadi praktisi maupun setelah menjadi pengajar di bidang broadcasting. Sebuah ironi bahwa para mahasiswa dan siswa susah untuk menemukan buku-buku yang dipakai sebagai literatur maupun sebagai landasan penulisan ilmiah. Semua buku yang ada kebanyakan masih berbahasa Inggris dengan kemampuan berbahasa Inggris yang berbeda-beda pemahaman tentang pengetahuan tentang dunia broadcast ditangkap dalam kondisi yang kurang sempurna.
Buku hanyalah buku, ilmu hanyalah ilmu itu juga yang menyebabkan dunia broadcast kita semakin tidak jelas. Beragam “kiblat” baik yang Eropa, Jepang dan Amerika menjadikan bahasa, sistem dan model pertelevisian kita beragam. Ditambah lagi mindset para broadcaster dan calon broadcaster yang selalu berfikiran bahwa pengalaman lapangan adalah yang terpenting. Sebuah pengalaman akan lebih baik jika dilandasi dengan sebuah pendidikan yang menjadikan semuanya lebih tersistem, berjalan dengan efektif serta memperkecil resiko yang terjadi di lapangan. Sebuah perhatian kita bersama para broadcaster dan para pengajar untuk memperbaiki dan menjadikan broadcasting kita menjadi semakin Indonesia.
Teknologi broadcasting televisi nampaknya akan terus berkembang, era digital telah merubah segalanya. Dengan kemajuan teknologi kini memungkinkan hampir semua kamera memiliki kontrol otomatis, maka siapapun yang menggunakan kamera video akan sangat mudah untuk mengoperasikannya. Jadi mengapa seorang calon cameraman harus memiliki pengetahuan tehnik kamera ?
Ada beberapa alasan mendasar mengapa anda harus mempelajari ”Teori dan Tehnik Kamera” :
  • Pengetahuan Operasional
  • Artistik
  • Kualitas Gambar
  • Koordinasi
Secara garis besar di dalam buku ini dibahas dalam dua bahasan pokok masalah, yakni teknis dan philosofis. Pengetahuan teknis merupakan bagian dari pengetahuan operasional yang harus dimiliki oleh seorang calon cameraman. Pengetahuan operasional akan berkaitan dengan bagaimana menggunakan kamera dengan segala fasilitas yang tersedia pada kamera tersebut.
Tidak seperti halnya pengetahuan operasional, pemahaman philosopis seorang cameraman dituntut agar bisa menghasilkan gambar yang baik, yakni yang bisa menyampaikan pesan atau gagasan yang ingin disampaikan pada para penonton. Gambar tersebut tidak hanya berurusan dengan teknis mekanis dan artistis saja, karena apapun yang ditampilkan di layar televisi atau bioskop akan selalu dimaknai penonton. Dengan demikian ada juga bahasan semiotika film dan televisi. Penata kamera dan teknis kamera tidak berdiri sendiri, ini merupakan bagian dari sebuah produksi acara televisi maupun film. Maka di dalam buku ini dibahas mengenai proses produksi acara televisi dibuat satu dalam Bab tersendiri.
Tata cahaya sebagai bagian penting dalam produksi juga dibahas dalam bab tersendiri. Selain alasan ini, seorang penata kamera juga harus memahami tata cahaya. Tentang tata cahaya dibahas pada Bab Cahaya dan Pencahayaan. Demikian juga dengan tata suara, seorang penata kamera harus memahami tentang tata suara/audio baik secara teknis maupun teoritis. Maka bahasan tentang tata suara juga dibahas dalam Bab tersendiri. Pada Bab akhir di buku ini diberikan suplemen Tips & Triks yakni kiat-kiat menjadi penata kamera menurut para praktisi kamera.
How to Become a Cameraman
  • Judul          : How to Become a Cameraman
  • Penulis      : Diki Umbara & Wahyu Wary
  • Penerbit    : Interprebook
  • Halaman   : 271
  • Harga         : Rp.42.000
Candid Camera, Ada Dimana Kameranya ?
Oleh Diki Umbara
Kita tertawa begitu melihat ada orang yang gak sadar bahwa dia sebetulnya sudah dikerjain di depan kamera. Spontanitas dari perilaku subyek menjadi hal yang menarik karena ada “kejujuran”  yang sudah menjadi barang langka di dunia ini, tapi apakah candid camera benar-benar jujur?
Candid Camera alias kamera tersembunyi, awalnya merupakan nama acara serial televisi yang diproduksi oleh Allen Funt,  sebelumnya adalah acara di radio Candid Microphone yang dimulai pada Juni 1947 tahun yang lalu. Setahun kemudian Allen memproduksi untuk acara televisi, ditayangkan untuk beberapa stasiun  televisi termasuk pada jaringan televisi kabel (source: wikipedia). Sukses ini ditiru oleh banyak televisi di dunia, dan tentu saja termasuk di Indonesia. Konsep candid camera sudah dipatentkan sama si empunya konsep, artinya jika akan membuat acara yang sama harus minta izin dengan membeli royalti. Alih-alih demikian, yang ada banyaknya yang “nyolong” begitu saja walaupun dengan dalih modifikasi….upsss tapi bukan ini bahasan kita, tentang hak cipta akan menjadi bahasan lain.
Reportase Investigasi
Pada perkembangannya, metode kamera tersembunyi dipakai untuk membuat acara televisi reportase  investigasi. Menggunakan konsep ini, karena tidak semua subyek “rela” diliput untuk menjadi bahan tayangan, maka kamera tersembunyi adalah salah satu solusinya. Dengan kamera tersembunyi, target tidak menyadari kalau aktivitas dia sedang direkam. Pengamanan ketat di rumah tahanan Salemba, bisa dengan begitu mudah “diakali” dengan investigasi hidden camera. Pesta narkoba dengan begitu jelas terekam oleh salah satu kamera yg “dititipkan” pada orang yang punya akses di dalam rutan. Video ini sempat ditayangkan di salah satu tv swasta di Indonesia dan mendapat tanggapan yang luas dari penonton. Kenapa kamera bisa lolos dari pemeriksaan petugas rutan? Karena alat perekam audio visual tersebut dibawa dengan cara disembunyikan. Itulah salah satu tehnik investigative reporting, dengan benar-benar melakukan investigasi dalam peliputan pada subyek atau pada nara sumbernya, bukan seperti pada salah satu acara infotaintmen yang punya judul dengan embel-embel investigasi padahal tidak melakukan investigasi samasekali.
Reality Show

Tidak ada catatan yang pasti apakah konsep candid camera ini pertama kali digunakan untuk acara reportase investigasi atau reality show. Tapi lagi-lagi, di televisi Amerikalah pertama kali acara reality show ditayangkan. Tidak semua acara reality show memakai konsep kamera tersembunyi, tapi memang sebagian besar memakai tehnik ini dengan tujuan agar acara lebih kelihatan real. Karena sudah banyaknya acara reality show termasuk di Indonesia yang menggunakan tehnik ini, maka penonton “merasa” bahwa semua reality show menggunakan tehnik candid.

Menyembunyikan Kamera
Secara teknis, saat ini seharusnya tidak sulit sebetulnya untuk menyembunyikan kamera. Jika jaman dulu kamera berukuran besar, sehingga perlu penganan khusus untuk benar-benar menyembunyikan kamera. Kini banyak jenis kamera yang didesain secara compact, kamera ukuran kecil tapi dengan resolusi gambar yang baik.
Kalau dibagi dua dalam hal perencanaannya, ada acara televisi yang terencana dan ada yang “tidak terencana” (unplan). Konsep candid camera sebaiknya direncanakan dengan baik bahkan melebihi dari apa yang biasanya dilakukan pada acara televisi yang terencana lainnya. Kenapa demikian? Karena akan banyak hal yang terjadi yang “tidak terduga” sebelumnya, ini yang dinamakan momen. Jadi, yang perlu diperhatiakan ketika akan memproduksi acara candid adalah bagaimana mensiasati untuk bisa menangkap momen.
Gak seperti halnya shooting dalam keadaan normal, shooting dengan konsep candid camera tentu saja tidak boleh ketauan oleh subyek atau target. Caranya? Yang dengan menyembunyikan kamera tersebut.
Berdasarkan lokasi, maka ada dua jenis tempat yakni dalam ruangan dan luar ruangan. Di luar ruangan atau outdoor, penempatan kamera akan lebih sulit ketimbang di dalam ruangan atau indoor.  Penempatan kamera di luar ruang, karena bersifat terbuka maka ada tehnik lain ketimbang bagaimana menempatkan kameranya. Teknis itu yakni penyamaran seoranag cameraman ketika sedang melakukan pengambilan gambar secara candid. Tapi yang paling umum kamera diletakan di dalam tas yang didesain khusus agar kamera tetap bisa melakukan perekaman.
Kamera tersembunyi akan lebih mudah jika dilakukan di dalam ruangan, properti yang ada dalam ruangan bisa dijadikan untuk tempat meletakan kamera. Di ruang tamu, kamera bisa diletakan di antara hiasan yang ada di ruang tersebut. Di dalam kamar, kamera disembunyikan di lampu penerangan kamar. Sedangkan di dapur, kamera bisa diset diantara perabotan dapur.

Menyamar
Yang dimaksudkan penyamaran tentu saja penyamaran yang dilakukan oleh cameraman yang melakukan pengambilan gambar secara candid. Kalau pengambilan gamar dilakukan di sebuah mall maka baiknya cameraman menyamar menjadi salah seorang pengunjung mall demikian juga jika dilakukan di tempat hiburan lainnya. Intinya, dengan penyamaran demikian tidak akan menaruk curiga pada siapapun jika kita sebetulnya sedang melakukan pengambilan gambar bahkan pada target yang kita ambil gambarnya.
Banyak Kamera

Momen tidak akan terulang dua kali, momen harus bisa ditangkap dengan jelas. Maka, biasanya acara dengan konsep hidden camera akan menggunakan lebih dari satu kamera. Dengan menggunakan lebih dari satu kamera, dimungkinkan untuk bisa menangkap semua momen yang terjadi bahkan momen yang tidak terduga.
courtesy : prime media & antv

 Edit in-Camera
By Diki Umbara 
Ada beberapa metode yang bisa digunakan ketika kita akan melakukan penyuntingan gambar atau editing. Namun kalau dibagi dua, pertama penyuntingan gambar bisa dilakukan pada tahapan paska produksi (dan ini paling umum dilakukan), kedua penyuntingan gambar dilakukan pada saat pengambilan gambar, istilah ini disebut edit in-camera.
Pada tulisan kali ini, saya akan mencoba menjelaskan metode yang kedua yang umum disebut edit in-camera. Tidak seperti pada metode pertama, metode edit in-camera memerlukan penanganan khusus. Bisa jadi, dengan metode edit in-camera, tidak akan menghasilkan rangkaian shot sebaik waktu kita melakukan penyuntingan gambar di paska produksi. Namun konsep edit in-camera kadang diperlukan misalnya ketika pekerjaan mengharuskan deadline yang ketat. Jadi, dengan edit in-camera akan mengurangi waktu proses penyuntingan gambar.  Berdasarkan pengalaman pribadi serta rekomendasi beberapa expert, berikut adalah poin-poin yang harus diperhatikan ketika kita menggunakan konsep atau metode editing di kamera :
  • Edit on Your Mind, bayangkan sekuens seperti apa yang akan dibuat. Ini sebetulnya hal yang paling pokok ketika kita akan menggunakan metode edit in-camera. Seorang cameraman sudah harus bisa membayangkan bagaimana membuat alur cerita jauh sebelum pengambilan gambar dilakukan.
  • Shot List, daftar shot yang akan diambil pada saat pengambilan gambar atau shooting. Shot list dibuat sedemikian rupa berdasarkan cerita yang akan ditampilkan, dibuat secara linear sehingga akan memudahkan dalam membuat urutan shot yang akan dilakukan.
  • Durasi Shot,tidak ada aturan seberapa lama sebuah shot yang baik dilakukan. Yang paling penting adalah apakah dalam durasi yg kita buat itu informasi sudah tersampaikan pada penonton atau belum.
  • Kontinyuitas, kesinambungan antar shot sangatlah penting. Antar shot akan memiliki kesinambungan jika memiliki beberapa unsur yang sama antar satu shot dengan lainnya. Diantara kesinambungan itu antara lain kesinambungan posisi, gerak, cahaya, warna, dan sebagainya.  
  • General to Detail, dalam editing di paska produksi, seorang editor bisa bermain-main dengan posisi atau letak shot yang dalam terminology editing disebut juksta posisi. Tentang shot mana yang pertama disusun dalam satu sekuens dan seterusnya menjadi penting. Salah satunya adalah apakah shot detail terlebih dahulu lalu shot yang umum atau sebaliknya.
Edit in-camera merupakan tehnik pengambilan gambar dalam pembuatan sebuah karya video dimana sekuens akan terlihat secara utuh di layar. Jadi, metode ini hanya cocok untuk pembuatan video tertentu saja misalnya tentang aktivitas yang berlangsung tanpa interupsi cut dari videomaker.
Sebagai gambaran, berikut merupakan contoh sekuens dengan menggunakan metode edit in-camera. “Unjuk rasa besar-besaran mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi di depan gedung KPK, demonstran terdiri dari berbagai unsur organisasi masyarakat. Salah seorang koordinator lapangan pengunjuk rasa mengecam keras semua yang terlibat dalam kriminalisasi KPK”. Shotlist yang bisa dibuat oleh cameraman bisa seperti di bawah ini :
  • Shot 1 : Establish Shot pengunjuk rasa
  • Shot 2 : Medium Shot satu kelompok pengunjuk rasa
  • Shot 3 : Close Up beberapa sepanduk
  • Shot 4 : Medium Close Up beberapa pengunjuk rasa
  • Shot 5 : Close Up wawancara koordinator lapangan
  • Shot 6 : Medium Shot pengunjuk rasa
Shotlist di atas merupakan contoh sederhana yang dibuat cameraman (atau reporter) untuk mempermudah membuat sekuens, yang sudah disusun sedemikian rupa secara linear, dan ini merupakan tyahapan yang harus dilakukan jika akan menggunakan metode edit in-camera.
Teknologi terus berkembang, jika dulu pada video kamera hanya bisa menyimpan rekaman gambar pada kaset/tape dan piringan dvd, kini beberapa kamera sudah menggunakan teknologi tapeless atau tanpa kaset. Ada media penyimpanan lain selain tape yakni hardisk dan memory yang memiliki kapasitas penyimpanan yang besar. Dan teknologi ini memungkinkan penggunaan metode edit in-camera secara teknis. Yakni, seorang cameraman bisa melakukan penyuntingan gambar di kamera. Misalnya, ketika ada shot yang dipikir tidak perlu, shot tersebut bisa didelete, susunan shotpun bisa siatur sedemikian rupa sehingga sesuai keinginan kita dalam merangkai cerita. Teknologi ini memang belum sempurna, tapi bukan hal mustahil ke depannya akan terus diperbaharui, sehingga metode edit in-camera bisa menjadi perpaduan antara konsep editing dan tehnik editing yang sempurna.
——————————————————————————————
Tentang Komposisi
Oleh Diki Umbara
Television takes the process much further by making people visually available, and not in the frozen modality of newspaper photographs, but in movement and action.(Fairclough 1995, 38-9).
Jelas di sini bahwa televisi memiliki kelebihan dibandingkan dengan media lainnya. Menurut pakar televisi, John Fiske, bahwa televisi dan film merupakan “teks” yang bisa dibaca. Tentu di sini teks dalam arti yang sangat luas. Setiap yang ditampilkan oleh televisi dan film akan selalu dimaknai oleh penontonnya. Film dan televisi memiliki tiga bentuk, yakni ikon yang terdiri dari suara dan gambar, simbol (dialog dan tulisan), serta indeks sebagai efek dari film itu sendiri.
Televisi merupakan jendela dunia, dan kita percaya bahwa “kamera tidak pernah bohong”. We know of course that ’the dog in the film can bark but it cannot bite’ (Hall 1980, 131). Dulu penonton bisa jadi ketika melihat tontonan baik televisi maupun film sebagai suatu realitas, namun kini penonton sudah sadar bahwa ada “sesuatu” di balik itu semua. Umberto Eco, salah seorang pakar semiotic bahkan mengkritik dengan menyebutkan medium is not “neutral”. Namun siapun tidak bisa dipungkiri, bahwa film dan terutama televisi memiki pengaruh yang kuat pada penontonnya. Dalam opera sabun atau sinetron misalnya, Ien Ang (1985) melihat bahwa karena begitu “dekatnya” cerita opera sabun dengan penontonnya, seolah penonton terwakili oleh actor serta cerita yang ada di tontonan tersebut.

Memahami acara apa yang ditampilkan dalam film maupun televisi memang sangat menarik, ukuran shot, angle, pergerakan subyek, pergerakan kamera, secara sadar atau tidak pasti memiliki arti. Hal ini berarti bukan masalah teknis mekanis saja. Frame, shot, scene, serta sekuens yang memiliki relasi di antaranya yang dikerjakan oleh seorang editor di paska produksi juga memiliki arti. Kalau dalam sebuah karangan, shot berarti kata, scene berarti kalimat, dan sekuens bearti paragraf.
Apakah yang dimaksud komposisi di sini ? sebagian orang mungkin berfikir bahwa komposisi merupakan suatu tindakan seni atau cara untuk merangkai, menata, dan membentuk berbagai unsur yang hendak ditampilkan dalam suatu shot menjadi tampilan yang baik, menarik, dan enak dilihat.
Komposisi yang baik harus terdiri dari unsur-unsur yang tampil menarik dan saling bersinergi. Kesemuanya berpadu menjadi kesatuan yang jelas, selaras dan harmonis. Menurut Gerald Millerson dalam Television Production, ada tiga hal yang bisa dilakukan dalam membuat komposisi gambar, yakni :
  1. Komposisi by Design
  2. Komposisi by Arrangement
  3. Komposisi by Selection
Prinsip Komposisi
Sebenarnya tidak ada aturan khusus tentang komposisi. Apapun yang anda letakan dalam sebuah scene tidaklah terlalu penting. Yang paling penting adalah bagaimana cara anda meletakan benda tersebut. Bagaimana anda mengorganisir gambar sehingga penonton bisa menikmati gambar tersebut. Komposisi shot tidak hanya masalah pengemasan gambar saja, tapi harus diingat bagaimana gambar-gambar tersebut bisa berkesinambungan.
Proporsi Gambar
Tidak ada formula atau rumusan khusus untuk menghasilakn proporsi gambar yang indah, namun beberapa abad silam seniman lukis menemukan formula yang bisa diterima sebagai prinsip dasar panduan membuat gambar yang harmonis. Prinsip dasar ini dinamakan Golden Section atau biasa juga disebut Golden Mean. Pelukis, pemahat serta arsitek telah menggunakan metode ini dalam mengekspresikan gagasannya untuk menghasilkan karya yang indah.
rule-3Rule of Third

Frame dibagi menjadi tiga bagian baik horizontal maupun vertikal. Menurut teori ini, gambar yang baik adalah ketika salah satu subyek yang kita inginkan berada pada titik pertemuan garis vertikal dan horizontal tersebut.
Kedalaman (Depth) Komposisi
Sering kali kita bosan dengan komposisi gambar terutama ketika melihat subyek statis dalam frame atau tidak ada pergerakan kamera sama sekali. Ada beberapa cara untuk membuat kedalaman dalam gambar, pertama dengan membuat shot dengan menggunakan foreground, yakni subyek lain di depan subyek pertama. Pada Gambar 1, tidak ada unsur subyek sebagai foreground, maka gambar ini kelihatan flat atau datar. Sedangkan pada Gambar 2, ada foreground yakni pohon. Maka pada Gambar 2 lebih kelihatan ada depth atau kedalaman.
hal-91-a-webGambar 1
hal-91-b-webGambar 2
Gambar Ilustrasi : Rety Palupi


Mengatasi Shot Bermasalah
Oleh Diki Umbara
Di lapangan, ketika penata kamera akan melakukan pengambilan gambar, dia harus merencanakan komposisi yang bagus. Terkadang di lapangan hal ini tidak mudah dilakukan, seperti pada Gambar 1 misalnya, ada dua subyek yang memiliki jarak yang cukup jauh padahal kita ingin mendapatkan shot ke dua subyek tersebut. Masalah pertama secara teknis jika jarak lensa kamera dengan ke dua subyek itu jauh, mungkin tidak masalah karena penata kamera bisa mendapatkan shot tersebut. Tapi jika jarak lensa dengan ke dua subyek terlalu dekat maka tidak akan mendapatkan gambar yang diinginkan. Masalah kedua, secara artistik bisa jadi gambar 1 tidak terlalu baik.
hal-97-a-web
Gambar 1
Untuk mengatasi shot bermasalah seperti pada Gambar 1, maka lakukanlah pengambilan gambar seperti pada Gambar 2. Sudut pengambilan gambar pada Gambar 2 dilakukan dengan cara memposisikan kamera pada belakang salah satu subjek. Tehnik ini dinamakan Over The Shoulder atau OTS atau OS.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management